KENANGAN
ALAM
Dua
sisi yang saya rasakan tentang bagaimana pada sisi tertentu saya cukup merasa
penat memikirkan apa yang belum terwujud dalam cita-cita saya, dan di sisi
lainnya justru mengingatkan saya dimana saya juga pernah merasakan masa dimana
saya cukup merasa lega. Dikala penat melanda saya sedikit merenggangkan fikiran
dengan berjalan-jalan di malioboro masterpisnya kota jogja. Meski jogja terasa
semakin macet dibanding ketika saya masih mahasiswa baru dulu. Disalah satu
sudut di depan pasar beringharjo saya sengaja
membeli cemilan murah cenil dan klepon. Tepat di depan penjual makanan
tradisional ini ada bule-bule duduk manis membicarakan makanan yang ia beli
sama seperti yang saya beli, “ is unic food, in holand not kind like that...”
kurang lebih percakapan yang saya tangkap demikian, sembari asik bercerita
penuh ekspresif, tampak salah seorang diantara mereka berdiri menyimak
penjelasan dari gaet mereka. Mereka begitu tampak antusias juga senang. Saya yang curi-curi pandang dan menguping ikut
terhayut dalam pembahasan mereka, saya seolah melihat lukisan renaissance yang
hidup di depan mata saya. Saya bersama mama saya duduk sembari memakan cenil
dan klepon, benar saja rasanya enak dan mudah kenyang di perut. Selain klepon
dan cenil, ada onde-onde, puthu, dan lumpia, tapi kami cukup membeli klepon dan
cenil waktu itu. Sembari duduk-duduk santai memandang hiruk pikuknya jalan
malioboro tampak bule-bule, andong dan kudanya, becak dan juga ada orang yang
foto-foto menggunakan tablet. Tiba-tiba perasaan saya mengingatkan tentang
tanah kelahiran saya, tentang alam, makanan dan buah-buahan yang saya tiba-tiba
merindukan mereka (kenangan bersama alam). Ya mungkin ini salah satu dampak
dari tekanan dan kenangan. Klepon dan cenil yang pecah didalam mulut adalah
kunci yang membuka kenangan-kenangan tersebut. Seolah saya mengalami flash back
tentang bagaimana rasanya pernah hidup indah bersama alam.
Contoh Lukisan Renaissance
Perasaan
itu tetap menggelayuti hati saya sekelebat saya teringat tentang bagaimana hujan
yang turun di jogja berbeda dengan rasa hujan yang turun di tanah kelahiran
saya dulu. Dimana tanahnya liat berwarna merah kecoklatan, lengket dan susah
dibersihkan jika terkena pakaian. Berbeda di jogja tanahnya berpasir dan
berwarna abu-abu hitam. Saya juga teringat betapa luas dan jarangnya rumah-rumah
penduduk di tanah kelahiran saya, menciptakan keheningan yang berbeda jika
dibandingkan dengan di jogja yang lebih ramai dan terasa memiliki banyak
tetangga. Di tanah kelahiran saya masih banyak ditemui belukar, hutan, padang
ilalang jika mengingatnya rasa itu sangat kuat, karena tinggal dilingkungan
yang terasa lebih luas membuat hati mudah terenyuh. Dikala sedih perasaan
benar-benar bisa menghayati terasa betapa sepi tinggal di sana. Waktu itu
sepucuk surat dari jawa adalah penghibur yang rasa senangnya mengenang-ngenang
dihati. Begitu romantisnya jika mengingat bagaimana pernah merasakan sepi, jauh
dari keramaian seperti di jogja. Segala hal yang barangkali orang jogja tidak
rasakan kami begitu sangat menghargai perasaan sekecil apapun.
Flash
back saya tidak berhenti terus mengalun seiring rasa-rasa yang pernah tersimpan
rapi dan sejuk didalam hati dan jiwa saya. Ketika hendak menjenguk embah di
bantul mengingatkan tentang salah satu pasar di bantul namanya pasar turi,
orang bantul terlihat lebih lugu ketimbang di pasar sleman. Di pasar turi ini
ada buah yang unik, buah ini gabungan dari buah pakel dan buah mangga namanya
buah kweni. Rasanya pun lebih berserat dari pada buah mangga, seperti
kolaborasi antara pakel dan mangga membaur menjadi satu bentuk buah, manis dan
tidak terlalu asam.
Buah Pakel
Buah Kweni
Nama
pasar turi hampir mirip dengan daerah penghasil buah salak yaitu di pakem,
kaliurang, turi, sleman. Saya dan mama ingin membawa buah tangan untuk dibawa
ke bantul, untuk embah di sana yang sekiranya pantas dan bisa sebagai makanan
dan ide mencari salak pun muncul. Salak mengingatkan saya pada buah yang
menyerupainya namun sangat berbeda rasanya. Buah ini terasa masam sekali dan
biasanya di buat manisan buah ini bernama kelubi, biasanya tumbuh di dalam
hutan tempat kelahiran saya. Pohonnya mirip dengan salak namun tetap ada
perbedaan rasa yang mencolok. Biasanya tumbuhan kelubi ini subur di
pinggir-pinggir sungai, rawa, atau hutan pedalaman. Rasanya masam bukan main
sampai kalau pernah merasakannnya, melihat daging buahnya saja sudah mampu
membuat gigi linu dan air liur keluar
Inilah buah Kelubi
Perjalanan
kenangan saya terus menerawang dan semakin mengenang di hati. Disaat saya
memandang gunung merapi yang besar di jogja saya teringat gunung bawang di
bengkayang salah satu kabupaten di tanah kelahiran saya dan saya pernah tinggal
dan bersekolah di tempat ini. Gunung bawang sering di jadikan objek anak-anak
pencinta alam di sekolah saya. Gunung ini tidak aktif karena gunung ini adalah
bukit yang membentuk gunung
Gunung Merapi
Gunung Bawang
Di
perjalanan saya melihat sawah padi yang rapi berjajar di jogja. Di tanah
kelahiran saya padi jarang saya lihat. Saya sering melihat ilalang di pinggir-pinggir
jalan, kalau tidak ya belukar dan pohon-pohon hutan yang menjulang di iringi
tebing-tebing yang dibentuk alam dengan alami. Saya juga masih ingat saya
melihat kuburan cina yang eksotis diantara pandangan saya melihat ilalang di
jalan.
Kuburan Cina
Dijalan
menuju singkawang yang terkenal banyak amoy dan kelnteng ini, saya melihat
rumah-rumah penduduk dari papan yang berdiri kokoh di atas rawa atau sungai,
diantara rawa tersebut tumbuh indah bunga teratai persis seperti teratai dewi
kwan’in dalam serial kera sakti, sedang di depan rumah-rumah di pinggir jalan
tersebut terdapat sungai besar yang dipakai penduduk untuk mandi dan mencuci.
Bunga Teratai
Setelah
ke singkawang kembali ke sanggau ledo tepatnya di transau. Di tempat kenangan
ini saya teringat ketika waktu kecil saya diajak orang tua saya, ia memiliki
hobinya yaitu senapan angin dan main. Tepat dibelakang rumah kawan bapak saya
itu tumbuh rimbun pohon jambu bol dengan buah jambu bol yang besar dan matang.
Kesannya ditempat itu seperti rawa, becek namun memiliki aroma alam yang
menyegarkan dan juga pastinya romantis. Jambu bol ini mirip dengan jambu air
tapi berbeda. Pohon jambu bol memiliki siklus yang unik, ketika berbunga
bunganya berwarna ungu berupa helai-helai runcing yang akan gugur seperti hujan
salju namun berwarna ungu. Jambu bol memiliki rasa yang manis, asam dan
dangingnya lebih gembur, seperti apel, juga lebih empuk.kalau sudah matang jambu bol enak dimakan begitu saja, atau
dimakan dengan sambal belacan(tersasi). Jambu bol memiliki wangi dan cita rasa
yang khas.
Jambu Bol
Jambu
bol mengajak saya untuk mengenang tentang berbagai buah-buahan yang pernah saya
cicipi dan langka di dapati. Dulu ketika saya kecil setiap saya pulang mandi
dari sungai saya harus melewati ladang-ladang. Diladang itu tumbuh subur pohon
cempedak. Cempedak ini mirip dengan nangka namun berbeda. Cempedak lebih manis
dan lembek buahnya namun enak. Cempedak jika matang seharusnya ia akan jatuh
sendiri dari pohonnya. Biji buah cempedak lebih bulat dan danging buahnya lebih
lembut dan teksturnya lumer seperti buah nangka blonyoh, tapi buah cempedak
lebih wangi bahkan enak dijadikan cempedak goreng seperti pisang goreng.
Bijinya pun bisa direbus seperti biji nangka.
Buah Cempedak
Di
tempat kelahiran saya banyak terdapat sungai-sungai besar yang asli dari alam
bukan buatan manusia. Karena itulah barangkali disebut dengan kalimantan. Bahkan
setiap musim penghujan tiba di ledo salah satu tempat di kalimantan barat
sering banjir. Uniknya orang-orang sudah hafal dan bersahabat dengan alam,
mereka menggunakan sampan sebagai alat transportasi.
Sungai dan Sampan
Saya
masih ingat waktu kecil saya diajak kedua orang tua saya bersama adik saya yang
masih kecil ketika itu. Kami ingin berkunjung ke suatu tempat kawan orang tua
kami. Untuk mencapai lokasi rumahnya bukan perkara mudah dan dekat. Kita harus
melalui jalan kecil dan hutan-hutan yang gelap tak berpenduduk. Jalan juga
becek dan liat yang lebih mencengangkan kami harus melalui seuntai jembatan
gantung panjang yang bila terkena angin jembatan tersebut bergoyang mengerikan
dan di bawahnya terdapat sungai dalam yang luas. Rasanya seperti fobia
ketinggian rasa khawatir jatuh pun menghantui, sampai-sampai saya merangkak
melewati jembatan gantung yang hanya terbuat dari kawat dan kayu yang ringkih,
lapuk, dan horor. Belum lagi memandang kebawah ada sungai yang dalam tidak tau
bagaimana hewan didalamnya seperti buaya, ular dan semacamnya. Sejauh mata
memandang hanyalah hutan gelap yang tak seorang pun ada di sekitarnya.
Ilustrasi Jembatan Gantung
Seusai
kami berkunjung di tempat kawan orangtua kami tersebut kami harus kembali
melalui jalan yang sama. Setiap melewati jembatan itu rasanya ingin lewat jalan
lain saja, tapi masalahnya hanya itulah satu-satunya jalan. Sesampai di rumah
hati lega dapat pulang dengan selamat dan tentunya sekarung oleh-oleh berupa
buah duku dan manggis dibawakan kawan orangtua kami. Kawan orangtua kami
memang memiliki pohon manggis, duku, juga masam sejenis mangga tapi
kecil-kecil dan rasanya masam, biasanya dibuat sambal teramcam, atau disayur
pedas.
Buah Duku
Pohon Manggis
Buah Manggis
Masam
Masam
yang sejenis dengan mangga pun mengingatkan saya dengan oleh-oleh yang selalu
dibawakan teman saya dari indramayu, namanya mangga indramayu. Rasanya khas,
wangi dan manis, makan satu buah saja bisa kenyang karena yang dibawakan teman
saya dari indramayu biasanya besar, dagingnya juga tebal, juga gemuk.
Mangga Indramayu
Bicara duku, di jogja saya menemui seperti saudara suku namun rasa dan cara
memakannya sedikit berbeda, rasanya juga beda namanya rumbai. Bentuknya mirip
bulat-bulat seperti anggur tapi lebih besar, berwarna kuning dan kulitnya
tebal. Rasanya pun beda, duku cenderung asem manis dan isinya pahit, sedang
rumbai asem manis tapi isinya tidak pahit. Cara makanya juga beda rumbai
langsung digigit, disedot sedang duku harus di pencet menggunakan tangan dan
di kupas.
Rumbai
Masih
mirip dengan rumbai dan duku, saya mengenal pertamakali buah ini dari teman
saya yang dapat oleh-oleh dari temanggung, namanya buah kelengkeng. Agak beda
dengan rumbai dan duku. Kelengkeng rasanya manis seperti rambutan, isinya
berwarna hitam dan keras, daging buahnya berwarna putih bening.
Kelengkeng
Kembali
ke malioboro, pernah dalam suatu hari saya ke malioboro hanya hunting sukun
goreng. Rekomendasi dari kawan kerja mama saya membuat penasaran. Dan pada
akhirnya benar rasanya gurih, asin, sedikit manis-manis sukun. Tempatnya di
dekat ramai mall. Sukun juga ada saudara miripnya namanya klatak. Bedanya sukun
dagingnya gembur seperti ubi sedangkan klatak tak berdaging hanya berdami.
Klatak hanya bisa di sayur sedangkan sukun bisa dibuat berbagai makanan, disayur,
dikukus, digoreng, bahkan dijadikan tepung untuk membuat kue.
Sukun
Klatak
Makanan
dijogja tidak kalah unik, pertamakali kejogja saya sempat terheran-heran dengan
salah satu makanan yang menyerupai lengkuas/laos atau jahe. Tapi masalahnya
bentuknya raksasa kalau dibandingkan dengan lengkuas/laos atau jahe. Ternyata
tumbuhan ini bernama lembong atau ganyong. Beda dengan lengkuas, lembong lebih
seperti makanan krowot atau umbi-umbian yang dapat di rebus seperti ubi.
Lembong bisa dijadikan pati atau tepung lembong.
Lembong
Kantong
semar mungkin ada yang mengatakan langka, ternyata di lingkungan tempat saya
tinggal di kalimantan tumbuhan pemakan serangga ini banyak tumbuh disemak-semak
diantara belukar, terutama banyak terdapat di hutan-hutan basah yang biasanya
ada rawa atau subur ketika musim penghujan. Bentuknya yang purba mengingatkan
akan tumbuhan pemakan hewan yang karnivora dan aneh. Penasaran dengan isi di
kantong semar pernah saya memasukkan jari saya, yang ada jari saya disengat
serangga didalamnya. Dari kejadian itu saya jadi males kalau didekatkan dengan
kantong semar, seperti menakutkan. Seperti tumbuhan alien atau monster.
Kantong Semar
Mengingat kembali tentang klepon, cenil atau onde-onde di malioboro mengungkit kembali kepada masa anak-anak saya di kalimantan. Tepatnya di transau, di daerah perantauan seperti tempat tumbuh saya waktu kecil, susah mendapatkan makanan khas jawa seperti tempe, krupuk lempeng atau juga seperti makanan tradisional. Sebut saja namanya Mbah Guno, ia juga merupakan perantau dari jawa. Ia sering membuat tempe dan kerupuk lempeng. Selain itu ia juga merupakan orang jawa yang berjualan kue tradisional seperti mendut, onde-onde, nagasari, apem kukus, dan jumbreng. Dengan bersepeda ia menjajakan kue tradisional ke rumah-rumah kami yang ia bawa pada bronjong/keranjang dari kain, diletakkan pada boncengan belakang sepeda. Hal yang tidak pernah lupa adalah jambu raksasa yang berukuran besar-besar di rumahnya, jambu ini berisi merah juga putih, sama persis dengan jambu batu merah dan putih biasanya, rasanya juga sama, hanya ukurannya saja yang ekstra besar seolah seperti jambu batu purba.
Jambu Batu Biji Besar
Dan
akhirnya kenangan saya bersama alam tidak cukup hanya saya uraikan dalam sebuah
cerita pendek. Kenangan bersama alam panjang ceritanya, karena setiap jengkal
yang alam berikan tidak cukup sejuta kata mengungkapkannya. Tapi yang jelas
alam begitu banyak menyimpan auranya bersama kenangangan dengan makhluk
disekitarnya. Alamlah yang mampu memberikan nuansa kehidupan, alam pula yang
telah banyak memberi kita kehidupan. Menjaga alam sama halnya menjaga
kenangan-kenangan indah didalamnya. Alam berbicara kepada kita melalui ronanya
yang khas. Tiada yang percuma yang Tuhan Ciptakan, semua Ciptaan-Nya bermanfaat
bagi manusia termasuk alam semesta beserta isinya. Betapa Maha Besar, dan Maha
Kasih-Nya.
Terimakasih
alam