Laman

Ikhsan Hargo Kusumo

Sabtu, 08 Juni 2013

KENANGAN ALAM

KENANGAN ALAM

Dua sisi yang saya rasakan tentang bagaimana pada sisi tertentu saya cukup merasa penat memikirkan apa yang belum terwujud dalam cita-cita saya, dan di sisi lainnya justru mengingatkan saya dimana saya juga pernah merasakan masa dimana saya cukup merasa lega. Dikala penat melanda saya sedikit merenggangkan fikiran dengan berjalan-jalan di malioboro masterpisnya kota jogja. Meski jogja terasa semakin macet dibanding ketika saya masih mahasiswa baru dulu. Disalah satu sudut di depan pasar beringharjo saya sengaja  membeli cemilan murah cenil dan klepon. Tepat di depan penjual makanan tradisional ini ada bule-bule duduk manis membicarakan makanan yang ia beli sama seperti yang saya beli, “ is unic food, in holand not kind like that...” kurang lebih percakapan yang saya tangkap demikian, sembari asik bercerita penuh ekspresif, tampak salah seorang diantara mereka berdiri menyimak penjelasan dari gaet mereka. Mereka begitu tampak antusias juga senang.  Saya yang curi-curi pandang dan menguping ikut terhayut dalam pembahasan mereka, saya seolah melihat lukisan renaissance yang hidup di depan mata saya. Saya bersama mama saya duduk sembari memakan cenil dan klepon, benar saja rasanya enak dan mudah kenyang di perut. Selain klepon dan cenil, ada onde-onde, puthu, dan lumpia, tapi kami cukup membeli klepon dan cenil waktu itu. Sembari duduk-duduk santai memandang hiruk pikuknya jalan malioboro tampak bule-bule, andong dan kudanya, becak dan juga ada orang yang foto-foto menggunakan tablet. Tiba-tiba perasaan saya mengingatkan tentang tanah kelahiran saya, tentang alam, makanan dan buah-buahan yang saya tiba-tiba merindukan mereka (kenangan bersama alam). Ya mungkin ini salah satu dampak dari tekanan dan kenangan. Klepon dan cenil yang pecah didalam mulut adalah kunci yang membuka kenangan-kenangan tersebut. Seolah saya mengalami flash back tentang bagaimana rasanya pernah hidup indah bersama alam.
Contoh Lukisan Renaissance 

Perasaan itu tetap menggelayuti hati saya sekelebat saya teringat tentang bagaimana hujan yang turun di jogja berbeda dengan rasa hujan yang turun di tanah kelahiran saya dulu. Dimana tanahnya liat berwarna merah kecoklatan, lengket dan susah dibersihkan jika terkena pakaian. Berbeda di jogja tanahnya berpasir dan berwarna abu-abu hitam. Saya juga teringat betapa luas dan jarangnya rumah-rumah penduduk di tanah kelahiran saya, menciptakan keheningan yang berbeda jika dibandingkan dengan di jogja yang lebih ramai dan terasa memiliki banyak tetangga. Di tanah kelahiran saya masih banyak ditemui belukar, hutan, padang ilalang jika mengingatnya rasa itu sangat kuat, karena tinggal dilingkungan yang terasa lebih luas membuat hati mudah terenyuh. Dikala sedih perasaan benar-benar bisa menghayati terasa betapa sepi tinggal di sana. Waktu itu sepucuk surat dari jawa adalah penghibur yang rasa senangnya mengenang-ngenang dihati. Begitu romantisnya jika mengingat bagaimana pernah merasakan sepi, jauh dari keramaian seperti di jogja. Segala hal yang barangkali orang jogja tidak rasakan kami begitu sangat menghargai perasaan sekecil apapun.
Flash back saya tidak berhenti terus mengalun seiring rasa-rasa yang pernah tersimpan rapi dan sejuk didalam hati dan jiwa saya. Ketika hendak menjenguk embah di bantul mengingatkan tentang salah satu pasar di bantul namanya pasar turi, orang bantul terlihat lebih lugu ketimbang di pasar sleman. Di pasar turi ini ada buah yang unik, buah ini gabungan dari buah pakel dan buah mangga namanya buah kweni. Rasanya pun lebih berserat dari pada buah mangga, seperti kolaborasi antara pakel dan mangga membaur menjadi satu bentuk buah, manis dan tidak terlalu asam.
Buah Pakel

Buah Kweni

Nama pasar turi hampir mirip dengan daerah penghasil buah salak yaitu di pakem, kaliurang, turi, sleman. Saya dan mama ingin membawa buah tangan untuk dibawa ke bantul, untuk embah di sana yang sekiranya pantas dan bisa sebagai makanan dan ide mencari salak pun muncul. Salak mengingatkan saya pada buah yang menyerupainya namun sangat berbeda rasanya. Buah ini terasa masam sekali dan biasanya di buat manisan buah ini bernama kelubi, biasanya tumbuh di dalam hutan tempat kelahiran saya. Pohonnya mirip dengan salak namun tetap ada perbedaan rasa yang mencolok. Biasanya tumbuhan kelubi ini subur di pinggir-pinggir sungai, rawa, atau hutan pedalaman. Rasanya masam bukan main sampai kalau pernah merasakannnya, melihat daging buahnya saja sudah mampu membuat gigi linu dan air liur keluar
Inilah buah Kelubi

Perjalanan kenangan saya terus menerawang dan semakin mengenang di hati. Disaat saya memandang gunung merapi yang besar di jogja saya teringat gunung bawang di bengkayang salah satu kabupaten di tanah kelahiran saya dan saya pernah tinggal dan bersekolah di tempat ini. Gunung bawang sering di jadikan objek anak-anak pencinta alam di sekolah saya. Gunung ini tidak aktif karena gunung ini adalah bukit yang membentuk gunung
Gunung Merapi 

Gunung Bawang

Di perjalanan saya melihat sawah padi yang rapi berjajar di jogja. Di tanah kelahiran saya padi jarang saya lihat. Saya sering melihat ilalang di pinggir-pinggir jalan, kalau tidak ya belukar dan pohon-pohon hutan yang menjulang di iringi tebing-tebing yang dibentuk alam dengan alami. Saya juga masih ingat saya melihat kuburan cina yang eksotis diantara pandangan saya melihat ilalang di jalan.
Kuburan Cina

Dijalan menuju singkawang yang terkenal banyak amoy dan kelnteng ini, saya melihat rumah-rumah penduduk dari papan yang berdiri kokoh di atas rawa atau sungai, diantara rawa tersebut tumbuh indah bunga teratai persis seperti teratai dewi kwan’in dalam serial kera sakti, sedang di depan rumah-rumah di pinggir jalan tersebut terdapat sungai besar yang dipakai penduduk untuk mandi dan mencuci.
Bunga Teratai

Setelah ke singkawang kembali ke sanggau ledo tepatnya di transau. Di tempat kenangan ini saya teringat ketika waktu kecil saya diajak orang tua saya, ia memiliki hobinya yaitu senapan angin dan main. Tepat dibelakang rumah kawan bapak saya itu tumbuh rimbun pohon jambu bol dengan buah jambu bol yang besar dan matang. Kesannya ditempat itu seperti rawa, becek namun memiliki aroma alam yang menyegarkan dan juga pastinya romantis. Jambu bol ini mirip dengan jambu air tapi berbeda. Pohon jambu bol memiliki siklus yang unik, ketika berbunga bunganya berwarna ungu berupa helai-helai runcing yang akan gugur seperti hujan salju namun berwarna ungu. Jambu bol memiliki rasa yang manis, asam dan dangingnya lebih gembur, seperti apel, juga lebih empuk.kalau sudah matang  jambu bol enak dimakan begitu saja, atau dimakan dengan sambal belacan(tersasi). Jambu bol memiliki wangi dan cita rasa yang khas.
Jambu Bol

Jambu bol mengajak saya untuk mengenang tentang berbagai buah-buahan yang pernah saya cicipi dan langka di dapati. Dulu ketika saya kecil setiap saya pulang mandi dari sungai saya harus melewati ladang-ladang. Diladang itu tumbuh subur pohon cempedak. Cempedak ini mirip dengan nangka namun berbeda. Cempedak lebih manis dan lembek buahnya namun enak. Cempedak jika matang seharusnya ia akan jatuh sendiri dari pohonnya. Biji buah cempedak lebih bulat dan danging buahnya lebih lembut dan teksturnya lumer seperti buah nangka blonyoh, tapi buah cempedak lebih wangi bahkan enak dijadikan cempedak goreng seperti pisang goreng. Bijinya pun bisa direbus seperti biji nangka.
Buah Cempedak


Di tempat kelahiran saya banyak terdapat sungai-sungai besar yang asli dari alam bukan buatan manusia. Karena itulah barangkali disebut dengan kalimantan. Bahkan setiap musim penghujan tiba di ledo salah satu tempat di kalimantan barat sering banjir. Uniknya orang-orang sudah hafal dan bersahabat dengan alam, mereka menggunakan sampan sebagai alat transportasi.
Sungai dan Sampan

Saya masih ingat waktu kecil saya diajak kedua orang tua saya bersama adik saya yang masih kecil ketika itu. Kami ingin berkunjung ke suatu tempat kawan orang tua kami. Untuk mencapai lokasi rumahnya bukan perkara mudah dan dekat. Kita harus melalui jalan kecil dan hutan-hutan yang gelap tak berpenduduk. Jalan juga becek dan liat yang lebih mencengangkan kami harus melalui seuntai jembatan gantung panjang yang bila terkena angin jembatan tersebut bergoyang mengerikan dan di bawahnya terdapat sungai dalam yang luas. Rasanya seperti fobia ketinggian rasa khawatir jatuh pun menghantui, sampai-sampai saya merangkak melewati jembatan gantung yang hanya terbuat dari kawat dan kayu yang ringkih, lapuk, dan horor. Belum lagi memandang kebawah ada sungai yang dalam tidak tau bagaimana hewan didalamnya seperti buaya, ular dan semacamnya. Sejauh mata memandang hanyalah hutan gelap yang tak seorang pun ada di sekitarnya.
Ilustrasi Jembatan Gantung
Seusai kami berkunjung di tempat kawan orangtua kami tersebut kami harus kembali melalui jalan yang sama. Setiap melewati jembatan itu rasanya ingin lewat jalan lain saja, tapi masalahnya hanya itulah satu-satunya jalan. Sesampai di rumah hati lega dapat pulang dengan selamat dan tentunya sekarung oleh-oleh berupa buah duku dan manggis dibawakan kawan orangtua kami. Kawan orangtua kami memang memiliki pohon manggis, duku, juga masam sejenis mangga tapi kecil-kecil dan rasanya masam, biasanya dibuat sambal teramcam, atau disayur pedas.
Buah Duku

Pohon Manggis

Buah Manggis

Masam


Masam yang sejenis dengan mangga pun mengingatkan saya dengan oleh-oleh yang selalu dibawakan teman saya dari indramayu, namanya mangga indramayu. Rasanya khas, wangi dan manis, makan satu buah saja bisa kenyang karena yang dibawakan teman saya dari indramayu biasanya besar, dagingnya juga tebal, juga gemuk.
Mangga Indramayu

Bicara duku, di jogja saya menemui seperti saudara suku namun rasa dan cara memakannya sedikit berbeda, rasanya juga beda namanya rumbai. Bentuknya mirip bulat-bulat seperti anggur tapi lebih besar, berwarna kuning dan kulitnya tebal. Rasanya pun beda, duku cenderung asem manis dan isinya pahit, sedang rumbai asem manis tapi isinya tidak pahit. Cara makanya juga beda rumbai langsung digigit, disedot sedang duku harus di pencet menggunakan tangan dan di kupas.
Rumbai


Masih mirip dengan rumbai dan duku, saya mengenal pertamakali buah ini dari teman saya yang dapat oleh-oleh dari temanggung, namanya buah kelengkeng. Agak beda dengan rumbai dan duku. Kelengkeng rasanya manis seperti rambutan, isinya berwarna hitam dan keras, daging buahnya berwarna putih bening.
Kelengkeng

Kembali ke malioboro, pernah dalam suatu hari saya ke malioboro hanya hunting sukun goreng. Rekomendasi dari kawan kerja mama saya membuat penasaran. Dan pada akhirnya benar rasanya gurih, asin, sedikit manis-manis sukun. Tempatnya di dekat ramai mall. Sukun juga ada saudara miripnya namanya klatak. Bedanya sukun dagingnya gembur seperti ubi sedangkan klatak tak berdaging hanya berdami. Klatak hanya bisa di sayur sedangkan sukun bisa dibuat berbagai makanan, disayur, dikukus, digoreng, bahkan dijadikan tepung untuk membuat kue.
Sukun

Klatak

Makanan dijogja tidak kalah unik, pertamakali kejogja saya sempat terheran-heran dengan salah satu makanan yang menyerupai lengkuas/laos atau jahe. Tapi masalahnya bentuknya raksasa kalau dibandingkan dengan lengkuas/laos atau jahe. Ternyata tumbuhan ini bernama lembong atau ganyong. Beda dengan lengkuas, lembong lebih seperti makanan krowot atau umbi-umbian yang dapat di rebus seperti ubi. Lembong bisa dijadikan pati atau tepung lembong.
Lembong

Kantong semar mungkin ada yang mengatakan langka, ternyata di lingkungan tempat saya tinggal di kalimantan tumbuhan pemakan serangga ini banyak tumbuh disemak-semak diantara belukar, terutama banyak terdapat di hutan-hutan basah yang biasanya ada rawa atau subur ketika musim penghujan. Bentuknya yang purba mengingatkan akan tumbuhan pemakan hewan yang karnivora dan aneh. Penasaran dengan isi di kantong semar pernah saya memasukkan jari saya, yang ada jari saya disengat serangga didalamnya. Dari kejadian itu saya jadi males kalau didekatkan dengan kantong semar, seperti menakutkan. Seperti tumbuhan alien atau monster.
Kantong Semar

Mengingat kembali tentang klepon, cenil atau onde-onde di malioboro mengungkit kembali kepada masa anak-anak saya di kalimantan. Tepatnya di transau, di daerah perantauan seperti tempat tumbuh saya waktu kecil, susah mendapatkan makanan khas jawa seperti tempe, krupuk lempeng atau juga seperti makanan tradisional. Sebut saja namanya Mbah Guno, ia juga merupakan perantau dari jawa. Ia sering membuat tempe dan kerupuk lempeng. Selain itu ia juga merupakan orang jawa yang berjualan kue tradisional seperti mendut, onde-onde, nagasari, apem kukus, dan jumbreng. Dengan bersepeda ia menjajakan kue tradisional ke rumah-rumah kami yang ia bawa pada bronjong/keranjang dari kain,  diletakkan pada boncengan belakang sepeda. Hal yang tidak pernah lupa adalah jambu raksasa yang berukuran besar-besar di rumahnya, jambu ini berisi merah juga putih, sama persis dengan jambu batu merah dan putih biasanya, rasanya juga sama, hanya ukurannya saja yang ekstra besar seolah seperti jambu batu purba.
Jambu Batu Biji Besar


Dan akhirnya kenangan saya bersama alam tidak cukup hanya saya uraikan dalam sebuah cerita pendek. Kenangan bersama alam panjang ceritanya, karena setiap jengkal yang alam berikan tidak cukup sejuta kata mengungkapkannya. Tapi yang jelas alam begitu banyak menyimpan auranya bersama kenangangan dengan makhluk disekitarnya. Alamlah yang mampu memberikan nuansa kehidupan, alam pula yang telah banyak memberi kita kehidupan. Menjaga alam sama halnya menjaga kenangan-kenangan indah didalamnya. Alam berbicara kepada kita melalui ronanya yang khas. Tiada yang percuma yang Tuhan Ciptakan, semua Ciptaan-Nya bermanfaat bagi manusia termasuk alam semesta beserta isinya. Betapa Maha Besar, dan Maha Kasih-Nya.
Terimakasih alam





JAM BERAPA?