CINTA YANG PERTAMA DAN
MASIH YANG PERTAMA (my humble love)
(the real my story)
Inilah mungkin yang disebut kisah kasih SMA, setelah sekian
lamanya akhirnya kenangan tersebut terbuka kembali. Merasakan waktu itu rasanya
tidak pernah menyangka didalam hidup ini ada cerita yang seperti itu, dan
pemeran utamanya adalah aku sendiri. Aku rasa kenangan itu tetap akan tersimpan
selama aku masih hidup dan masih memiliki ingatan juga hati untuk merasakannya.
Aku harus bersyukur tentu saja Kepada-Nya Kepada Sang Maha Kasih ALLOH SWT.
Untuk mengawali cerita ini saja tidak habis-habisya senyum seringai
menggelayuti wajahku. Ya inilah Cinta pertama dan yang pertamakalinya hingga
saat ini, rasanya sayang cerita ini hanya kusimpan dalam hatiku sendiri,
alangkah lebih baik jika aku buka. Biar pada suatu hari nanti jika aku alzaimar
aku akan tetap bisa mengingatnya.
Orang mungkin akan salah paham mengenai maksud kalimat diawal
yang menyebutkan kisah kasih di SMA, mungkin ada yang berpikir kisah kasih di SMA
otomatis cerita asmara yang umum antara remaja SMA siswa dan siswi seperti
cerita Indonesia kebanyakan. Tapi ini beda karna inilah pengalamanku,
pangalaman yang memang lain dari pada yang lain.
Tepatnya tahun 2006 tanggal dan harinya jelas aku sudah tidak
ingat pokoknya saat itu aku baru kelas X SMA semester 2 awal. Aku pindah dari
kota pelajar menuju kota katulistiwa karena alasan tertentu yang panjang bila
diceritakan. Tapi tenang bukan cerita mengapa aku pindah yang akan aku
ceritakan, aku lebih tertarik kepada kisah yang membuat aku tersenyum,
tersanjung, terkesima sendiri apabila lagi-lagi mengingat pengalaman itu.
Setelah aku pindah dari kota budaya Yogyakarta tercinta, aku
tinggal didaerah Bengkayang sebuah Kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan
Barat, Indonesia. Ditempat ini jangan tanyakan tentang toleransi atau pun
perbedaan karena kita tinggal berdampingan dengan berbagai RAS, ada orang Dayak,
Melayu, Jawa, juga Tionghoa, begitu pula Agamanya ada Muslim, Katolik, Protestan,
Konghucu. Aku melihat itu semua jadi mengingatkan tentang Pancasila, tentang Indonesia,
jadi mengapa kita harus memperdebatkan ego atau pun paham karena kita tinggal
bersama-sama dan saling menghormati.
Sesampai aku di Bengkayang kebetulan baru merayakan Idul’adha.
Di Bengkayang atau di tempat aku tinggal waktu itu Idul’adha dirayakan layaknya
seperti lebaran Idul Fitri, jadi ada berkunjung ke rumah-rumah silahturahmi dan
tentu saja ada kue dan roti, kue atau roti di sini tidak beli jadi, rata-rata dibuat
sendiri, otomatis setiap rumah rasanya khas, tidak ada yang menyamai.
Kebetulan disini aku tinggal dengan istri bapak saya, dan
tempat tinggalnya lumayanlah, bahkan ada pembantu yang selalu gonta-ganti,
tidak tau juga kenapa harus sering gonta-ganti, mungkin ada alasan tertentu
yang aku jelas tidak begitu peduli, karna disini bukan rumah saya. Dan saya
memang tinggal dirumah orang lain yang melainkan saya, meski saya tetap
menganggap siapapun adalah keluarga toh kita sama-sama manusia, hanya status
dunialah yang membuat pandangan kita jadi berbeda.
Kembali ke aku. Justru disinilah kunci ceritanya. Disaat masa
remaja yang labil, aku berusaha untuk tetap stabil. Setiap hari aku pulang
pergi sekolah dengan mengayuh sepeda butut yang jika dibayangkan saja males.
Tapi bukan masalah sepeda namun masalah cerita hari-hariku ditempat ini.
Seperti biasa sebelum berangkat aku pamit dan di sekolah aku tentu saja
menyimak pelajaran yang disampaikan oleh guru, sembari merasakan menyesuaikan
diri pada dunia baru yang unik. Teman-teman sekelas juga beraneka rupa, sifat,
bahkan bahasa, ada yang berbahasa Melayu, Cina, Dayak dan untuk menyatukan itu
semua cukup dengan berbahasa Indonesia yang khas. Ada sedikit campuran Melayu, Dayak,
bahkan aku sendiri masih kental logat Jawanya. Ditempat ini aku mendapatkan teman-teman
yang menginspirasi, ada Franra Sae Pudaba yang pendiam dan mempunyai ibu yang
sedang terbaring sakit mengidap kanker payudara ia bercerita bahwa namanya
memiliki arti yang sangat mendalam yang diberikan oleh orang tuanya. Pudaba adalah
Putra Daerah Dayak Bekati kurang lebih begitu (kalau salah maaf ya Fran) . Ada
Abus, yang paling pintar dikelas, karena ia selalu juara, dan ia sering menoreh
getah untuk mendapatkan uang saku, ada Sansan cewe Tionghoa yang kritis dan
sering jalan-jalan bahkan keluar negeri. Dan masih banyak lagi. Begitu pula
guru-gurunya, mereka semangat bahkan maaf lebih semangat dari guru di di sekolah
saya dulu di Yogyakarta.
Hari-hari seperti itu terus, sepulang sekolah dirumah
terkadang hanya ada aku pembantu dan anak-anaknya bapak dari istrinya, atau
adik tiri saya. Kami selalu bermain dan aku selalu mengajaknya jalan jalan
dilluar rumah untuk menyuapi atau menggendong yang masih kecil dengan selendang
tidak ada rasa malu atau apalah karna aku biasa aja, sedang pembantu dirumah
sibuk harus membersihkan rumah, mengepel atau menyiapkan hidangan untuk sang
majikan yang akan segera pulang. Setiba sang majikan pulang tibalah pula
intruksi-intruksi sang majikan. Bosan apabila harus ada cerita ini dalam kisah
manisku. Tapi itulah manusia punya cara yang kadang tidak memikirkan terlebih
dahulu caranya benar untuk dirinya, tapi apakah benar untuk orang lain.
“Kak Mimi” begitulah aku memanggil nama pramuniaga dirumah
ini. Aku tetap menganggap ia sebagai kakak karena ia lebih tua dari aku. Terkadang
aku nekat ketika hanya ada aku, adik-adik dan tentu saja kak mimi, aku
mengajaknya untuk istirahat bekerja dan berkaraoke ria menggunakan fasilitas
yang ada dirumah, ia sering was-was, tapi berusaha kuyakinkan kita juga perlu
santai nggak selalu tegang. Ia pun terkadang mengekspresikan dirinya dengan
menyanyi malu-malu, meski standart tapi aku tidak menilai bagus tidaknya
suaranya aku selalu bilang “wah bagus
banget kak besok lagi ya oke” ha ha... ia pun terlihat senang.
Aku orangnya paling tidak suka dengan yang namanya harus
membeda-bedakan dan itu harus ditunjukkan dengan sangat jelas, maka disaat kak
mimi sedang bekerja selalu aku ajak bicara sekedar melihatnya, atau
membantunya, bahkan menyuci popok sekalipun. Dari situ ia banyak bercerita tentang
pengalaman-pengalamannya. Bahkan kita sering kong kalikong untuk membiarkan
segala pekerjaan sepeninggalnya sang majikan. Tapi ya biar bagaimanapun kak
mimi adalah tetap seorang wanita ia tidak sanggup apabila harus mengerjakan
pekerjaan ditambah harus menjadi baby sister, terkadang ia bercerita tentang
keletihannya itu, apalagi kerja kerasnya tidak sebanding dengan gajinya. Kebetulan
juga ia sedang mendapat musibah kebun jagung orang tuanya terbakar oleh
pembakaran lahan liar yang sering terjadi di daerahnya yaitu di Romo. Tidak
hanya itu saja calon pendamping hidupnya memutusnya tanpa alasan yang jelas.
Semakin lengkaplah derita kak mimi, aku hanya bisa mendengarkan dan tidak bisa
membantu apa-apa.
Akhirnya ia memutusnkan untuk mengundurkan diri. Aku juga
merasa kehilangan karna ia sudah ku anggap kakakku sendiri. Sebelum ia pergi ia
selalu bicara terhadapku tentang artinya ia ditempat itu ia pun memeluk erak
adik-adikku. Ketika ku sedang asik melukis di atas kamar, kebetulan kamarku di loteng,
tiba-tiba ia kekamarku dan menyerahkan celana levis, dan kaset karaoke yang ia
punya untuk kenang-kenanggan terakhir, ia pun meminta fotoku satu-satunya
ketika SMA, akupun menukarnya. Dan perpisahan tersebut diakhiri dengan salam
perpisahan yang mengharukan, bahwa ia ingin selalu dikenang dan ia pun akan
selalu mengenang tentangku. Ia terlihat sangat sedih, entah karena nasibnya,
karena perpisahan kita ataukah keduanya. Hanya dirinya dan Tuhan yang tau.
Tibalah sang pengganti pembantu yang baru setelah beberapa waktu
kosong dan rumah berantakan. Jauh berbeda dengan kak mimi, pramuniaga yang ini
terlihat sangat bersemangat, polos, dan ekhem... ayu, ya ayu karna lagi-lagi ia
orang Jawa. Namanya Yuni, aku memanggilnya “Kak Yuni”. Dia humoris, lucu, dan
sangat menghargai orang lain, tidak ada wajah melankolik tersirat di rautnya,
yang ada senyuman yang tidak pernah lelah ia pedarkan. Dia tidak sungkan
langsung berkenalan dan semenjak itu pun kita langsung saja akrab tanpa harus
ada pendekatan atau penyesuaian, orangnya memang humble dan fleksibel.
Aku pun mulai bergairah karena ada kawan baru di rumah
rasanya bahagia. Setiap pulang sekolah akupun bersemangat mengayuh sepedaku
dengan cepat untuk segera sampai di rumah. Benar saja sesampai dirumah disambut
ceria dari kak yuni, menanyakan tentang kegiatan disekolah, dan dengan biasa
aku langsung menjaga adik-adikku sedang kak yuni mengerjakan pekerjaan lain, ia
pun selalu menyanjungku tentang apa yang kulakukan, aku terpesona hehehe....
Namanya juga kak yuni, ia selalu ingin tau tentang kegiatan apa yang aku
lalukan. Disaat aku menggambar ia menghampiri, disaat aku menulis ia bertanya,
ia selalu perhatian. Aku pun bertanya-tanya kenapa ia terlihat masih sangat
muda namun bekerja menjadi pembantu dirumahku, ternyata ia baru saja lulus dari
SMA Sanggau ledo. Ia bercerita di SMA tersebut hampir 100% siswanya tidak lulus
jadi ia beruntung sekali. Kitapun menjadi sangat dekat.
Tiba-tiba tiada petir tiada badai ia memutuskan mengundurkan
diri, alasannya nyleneh ia ngeri melihat wajah bapakku yang sangar dan matanya yang
merah seperti api. Seketika itu pun aku kaget seperti petir di siang bolong.
Akhirnya ia pun kuberikan kamus ciptaanku sendiri dikamus tersebut ada
huruf-huruf yang kita sudah belajar sebelumnya memang kamus itu aku ciptakan
sejak lama, q memang suka membuat sesuatu yang nyeni. Huruf huruf itu Cuma kita
yang tau, perumpamaannya huruf-huruf tersebut seperti huruf sandi jadi yang tau
hanya yang mengerti. Ia pun pamit begitu saja, tapi ia tidak bersedih sedikit
pun justru ia terlihat sangat bahagia, aku pun jadi bahagia melepasnya.
Hari-hariku sunyi, sepi sepulang sekolah pun tidak ada yang
mampu menghiburku, rasanya setiap sudut ruangan mengingatkan tentang ia,
senyumannya, tawa dan perhatiannya. Bahkan wajahnya yang baik, yang ayu tak
sanggup menghilangkannya dari ingatanku. Diatas loteng ku hanya menatap
bintang-bintang dan merasakan dinginya malam yang menyedihkan.
Setelah itu datanglah pengganti yang baru, dan sangat
mengecewakan orangnya tua, tapi belum pernah menikah aku memanggilnya acik,
karena dia orang melayu dan sudah seumuran nenekku. Kita sering tidak nyambung
jika berkomunikasi, dan ia pun tidak mengerti bahasa Indonesia, yang ia tau
hanyalah bahasa melayu, sedangku juga tidak begitu paham bahasa melayu.
Hari-hariku pun menjenuhkan, setiap hari sama, aku mengasuh
kedua adikku dan hanya mereka yang mampu menghiburku. Sampai pada akupun
mengundurkan diri tinggal bersama majikan-majikan tersebut tanpa ijin. Aku
memutuskan dengan berbagai pertimbangan yang pelik dan lagi-lagi panjang
ceritanya tapi bukan itu yang akan aku ceritakan.
Saat-saat terakhirku di Kalimantan ketika kenaikan kelas
berlangsung tiba-tiba dijendela kantor kepala sekolah ada sepucuk surat. Aku
pun bingung darimanakah gerangan? tapi yang jelas surat tersebut untukku. Bukan
dari keluarga dijogja melainkan dari kak yuni, aku pun segera tak sabar untuk
membuka dan membacanya, tapi harus menunggu waktu pulang sekolah karna jika
teman-teman tau aku malu. Kubuka pelan-pelan surat yang terbungkus rapi dan
tertempel perangko dari kantor pos tersebut. Benar saja kak yuni memang selalu
menaburkan kebahagiaan bagi siapapun yang pernah mengenalnya. Aku tersenyum,
tergelitik sekaligus tertegun, surat tersebut berhurufkan tulisan yang hanya
kita berdua yang tau, tulisan ciptaanku, ia menulisnya sangat indah, namun
dengan segala kerendahan hatinya ia merasa kurang baik menuliskan huruf kita
berdua ini. Disurat tersebut seolah mewakili keberadaannya seolah ia berada
didekatku, disampingku dan tersenyum lebar bersama. Ia menanyakan kabarku,
keadaanku, dan begitu sebaliknya ia menceritakan hari-harinya selepas
mengundurkan diri.
Dan surat betuliskan huruf rahasia yang hanya kami yang bisa
membacanya ini adalah pertemuan kita yang terakhir sampai sekarang. Karna
selepas kejadian itu aku sudah di Yogyakarta hingga kini. Sayang surat tersebut
hilang, padahal itu adalah kenangan terakhirku bersamanya.
Dalam pertemuan dan perpisahan kita, kita tidak pernah
mengutarakan “aku cinta padamu”, “aku tresno marang koe” saranghamida” dan
semacamnya tapi kita dan aku percaya hati kita sudah berbahasa. Sebenarnya
huruf tersebut aku ciptakan juga untuk menghindari apabila surat tersebut
sampai ketangan yang salah seperti bapakku. Kita sepakat setiap mendapatkan
surat satu sama lain langsung sesudah kita baca maka kita bakar, supaya tidak
meninggalkan jejak. Tapi surat pertama dan terakhir merupakan cinta pertama dan
terakhir sampai sekarang, semoga cinta ini tidak hilang seperti surat dan
dirimu kak yuni. Ada pepatah yang mengatakan cinta tak harus memiliki, maka aku
pun tidak harus memiliki kak yuni, semoga kak yuni tetap bahagia di Kalimantan dan
mendapatkan pendamping yang mampu menyayangi kak yuni, seperti kak yuni yang
penyayang. Terimakasih atas kasih dan sayangmu, akan aku simpan seumur hidupku.
Salam bahagia. ^_^
TAMAT
FOTO MASA ITU