Laman

Ikhsan Hargo Kusumo

Minggu, 05 Juli 2020

Remaja Itu Saya Panggil Bu Tutik

Remaja Itu Saya Panggil Bu Tutik
Seperti sudah menjadi rutinitas saya di tempat dimana saya mengabdikan diri sebagai guru muda yang minim pengalaman soal waktu. Jam tiga saya selalu terbangun di indekos yang kecil dan berbagi kamar dengan teman sekamar. Indekos yang saya tempati ini adalah satu kamar bisa untuk berdua jadi lebih murah harganya, sebab harganya dibagi berdua. Saya satu-satunya penghuni indekos yang tua, sedangkan teman-teman indekos saya semuanya anak SMK dan SMA. Memang indekos ini adalah indekos pria khusus anak sekolah saja. Lalu bagaimana saya bisa tinggal di indekos ini, karena saya masih dianggap pantas dan diterima oleh Ibu indekosnya meski faktanya usia saya bisa dua kali lipat usia penghuni indekos di dalamnya. Ya, mengapa saya bisa indekos di tempat indekos anak sekolah, karena sebagai guru honor di daerah yang berbeda provinsi berjarak hampir 300 km dari rumah saya ini, tentu saya harus bertahan hidup dengan berhemat salah satunya tak perlu gengsi untuk sebuah tempat tinggal, selama kita tidak merugikan orang lain, selama itu halal, selama itu pula kita tidak perlu malu. Untuk mendapatkan indekos ini saya harus mengalami pindah indekos beberapa kali, dan secara kebetulan Allah selalu memberikan apa yang tepat buat kita dengan waktu dan kondisi yang pas, itulah mengapa saya selalu percaya bahwa indah itu datang tepat pada waktunya. Pertama pemilik indekos tidak menyangka bahwa saya adalah guru honorer, dia mengira saya anak SMA/SMK atau anak kuliah dan semacamnya. Ternyata saya dengan pemilik indekos sebaya, bahkan ibu indekosnya lebih muda usianya daripada saya. Alhamdullilah indekos ini dekat dengan tempat saya mengabdi.

Kebetulan indekos yang saya tempati ini berdekatan dengan SMA, SMK, Musala, dan tempat saya mengabdi sebagai guru honorer. Sebisa mungkin saya selalu menyempatkan subuhan di Musala depan indekos. Saya sekamar dengan anak SMK yang rajin ke Musala, mungkin karena ia lulusan pesantren, sehingga terbiasa. Saya juga terkadang menyempatkan diri membeli sarapan nasi lengko ciri khas makanan yang di jual di Brebes. Nasi lengko adalah nasi bungkus yang isinya nasi putih, irisan tempe goreng, tahu dadu goreng, timun, kecambah, sayur tempe yang dimasak menggunakan tauco, dan di taburi bawang goreng lalu diberi sambal plus kerupuk pasir. Jam tiga saya selalu mandi lebih awal, karena jika tidak maka harus mengantri dengan anak-anak kost yang lain. Lalu saya subuhan jam 4, setelah subuhan kalau sempat beli sarapan, dan saya pun berangkat dengan cukup jalan kaki.

Jarak indekos ke tempat saya mengabdi tidaklah jauh sekitar 2 km saja. Saya melewati makam pahlawan yang kebetulan nama makam tersebut adalah gabungan dari nama kedua adik saya di Yogyakarta “KusumaTama” Kusuma adalah nama adik pertama saya dan Tama adalah adik kedua saya. Seolah kemanapun kaki berpijak keluarga selalu ada dalam langkah dan doa kita. Setelah melewati makam pahlawan saya pun antri kejar-kejaran dengan si Ular besi. Ya, setiap hari saya harus melewati rel kereta api aktif, jadi kalau keduluan kereta lewat ya kita mengalah untuk bisa menyeberang jalan menuju ke tujuan. Suara ketipak pantofel di kaki saya seolah berderu apalagi kalau waktu sudah hampir menunjukkan jam masuk sekolah. Setelah melewati rel kereta api aktif saya juga harus menyeberang jalan raya Pantura, dimana jalan ini merupakan jalan utama yang menghubungkan Pulau Jawa. Otomatis kendaraan tak biasalah yang selalu saya temui, seperti tronton, bulldozer, mobil pembawa bulldozer, truk peti kemas, mobil pengangkut motor, mobil pengangkut mobil, truk-truk besar, yang jarang saya temui langsung di jalan rumah saya Yogyakarta. Kalau lewat seolah gempa bumi, tanah bergetar diiringi suara bising kendaraan tersebut. Sebuah pengalaman yang seru ketika itu. Sampailah saya di depan sekolah tempat saya mengabdikan diri sebagai guru honorer seni budaya di SMP N 1 Brebes. Sekolahnya tepat berada di depan Jalan Pantura, jadi setelah saya menyeberang Jalan Pantura langsung di hadapkan dengan pintu gerbang sekolah yang didesain mirip gapura bali, mudah sekali menemukannya seandainya kita ingin mencari lokasi tempat saya mengadu nasib ini.
Sampai di gerbang suara nyaring salah seorang murid heboh menyapa saya dari lantai atas tepat di sekitar depan kelasnya. “Pak Ikhsan….” teriaknya sekencang-kencangnya sampai guru dan murid lain merasa malu sendiri dibuatnya, sedangkan ia merasa biasa-biasa saja. Sebelum saya membalas sahutannya ia terus akan berteriak histeris seolah saya ini boy band korea yang lewat di bandara, sungguh pengalaman paling unik, asik, dan menarik yang pernah saya alami dalam hidup saya sepanjang saya pernah menjadi seorang guru. Saya pun cukup membalas sapaan itu dengan sebuah senyuman. Saya cari sumber suaranya lalu saya berbalik menyapanya dengan senyuman dan apabila ia melambaikan tangan saya pun membalas lambaiannya dengan senyum sumringah. Lalu setelah itu terkadang tidak cukup sampai di situ saja ia langsung bicara lantang menanyakan tugas atau menyampaikan tugas yang telah ia buat, seolah ia ingin menunjukkan hasil belajarnya secara terang-terangan di depan banyak orang baik itu guru, maupun murid-murid yang lain. Kalau sudah begitu maka saya pun harus membalas senyuman dengan lebih lama durasinya, sembari memberikan kode bahwa nanti bicaranya di kelas atau jangan jauh-jauhan dan nyaring suaranya, didengar yang lain, kurang nyaman. Kalau ingat polahnya sampai sekarang saya masih merasa tergelitik juga. Ada begitu, murid yang sesemangat dan seantusias itu terhadap pelajaran saya, saya merasa bahagia Allah telah memberikan murid yang punya semangat belajar yang luar biasa seperti itu, meski yang saya lakukan biasa-biasa saja.
Tidak hanya semangatnya saja yang besar, anak ini mempunyai jiwa kompetitif yang sportif, dia juga pantang menyerah. Saya pernah memberikan sayembara disetiap kelas yang saya ampu untuk bisa mengikuti lomba membuat poster dengan tema difabel ketika itu. Anak ini ikut dan saya kirimkan karyanya dia memperoleh juara 2 tingkat kabupaten. Ia juga selalu rajin dalam berkonsultasi, anaknya mungkin tampak berbeda dengan kebanyakan siswi lain namun apa yang saya lihat ia mempunyai mental yang baik.
Karena keunikannya ini terkadang teman-temannya kurang bisa menerimanya, bahkan guru-guru juga membicarakan tentang polah tingkahnya yang mungkin terlihat kurang sopan dan semacamnya, namun saya melihat anak ini justru memiki sopan yang natural hanya gayanya saja seolah bicaranya nyaring, suka ke sana kemari. Tapi kalau dilihat aslinya, dia anak yang rajin berangkat selalu ingin duluan nomor satu, bahkan tak jarang saya selalu berpapasan ketika berangkat karena kita sama-sama paling pagi di sekolah. Busananya juga rapi, sopan, tertutup kerudungnya, bersih, suka membantu guru membawakan perlengkapan mengajar, suka menawarkan diri untuk dengan rela menghapus papan tulis, mengisi tinta spidol, dan semacamnya. Bahkan ketika diberikan kesempatan bertanya atau mengemukakan pendapat pasti ia selalu aktif tidak pernah tidak, walau entah apa yang ia tanyakan dan sampaikan, ia tetap tampil percaya diri. Saya melihat potensi di dalam diri anak ini. Karena sangat terlihat di dalam keterbatasannya ia selalu menantang dirinya sendiri bahwa ia harus bisa. Ia anak yang gigih, di dalam dirinya ada semangat yang positif. Meski dibalut dengan penampakan luar yang unik kalau saya sebut, dimana guru-guru lain dan teman-temannya menyebut kurang sopan, agak lebih aktif dari kebanyakan anak yang lain pada umumnya, namun ia tetap membuktikan melalui prestasi dan sikapnya yang selalu baik bahkan lebih.
Menemukan anak seperti ini adalah berkah kita sebagai guru, anak model seperti inilah yang seharusnya kita berikan motivasi dan arahan agar semangatnya tetap membara dan sikapnya terarah sesuai potensi yang ada di dalam dirinya. Saya sering memanfaatkan potensi anak seperti ini untuk menjadikannya leader atau pemimpin. Ia memiliki kepercayaan diri, pantang menyerah dan suka menolong inilah potensi dan bakat yang perlu kita kembangkan. Pertama saya memberikan tanggungjawab kepada anak ini untuk menjadi leader di pembelajaran saya, kalau dia mampu dan berusaha untuk memaksimalkan potensi-potensi rasa tanggungjawab dan kedisiplinannya, maka saya angkat ia menjadi “asisten’’. Terbukti dari tantangan-tantangan yang saya berikan ia menunjukkan progres signifikan, itulah bakatnya.
Memang ketika saya tanya tentang impian dan cita-citanya ia sudah mempunyai impian yang cukup jelas dibandingkan kawan-kawannya yang lain. Ketika saya tanya ‘’Bu Tutik, cita-cita Bu Tutik ingin menjadi apa?’’. “Saya ingin menjadi Polwan Pak”, jawabnya dengan lugu ala-ala Bu Tutik saya menyebutnya. Nama sebenarnya adalah Hesti, lalu mengapa saya memanggilanya Bu Tutik, karena saya menjadikannya guru di hadapan teman-temannya untuk dia jadikan ajang dalam mengekspresikan diri, supaya dia juga memiliki wadah sekaligus dapat merasakan bagaimana menjadi seorang guru dan mengajar di hadapan teman-temannya, yang artinya dia harus mampu memimpin, tentu dalam kontrol dan pengawasan yang saya selalu pantau. Saya juga sering mengingatkan Bu Tutik ini. Saya bilang “apalagi cita-cita Bu Tutik adalah menjadi seorang Polwan, itu artinya Bu Tutik harus bisa mengendalikan keributan atau mengatasi masalah jika ada penjahat, nah sama di kelas ini Bu Tutik bisa belajar untuk dapat mengatur kelas agar kondusif”. Jadi ketika kelas terasa membosankan, kurang kondusif, dan melelahkan di kelas, maka Bu Tutiklah yang saya daulat untuk bisa mengontrol kelas kembali kondusif dan nyaman kembali. Bu Tutik memiliki suara yang nyaring dan lantang, ia juga berani inilah senjatanya dalam mengontrol kelas, tak ada yang mampu menandingi nyaringnya suara Bu Tutik. Bu Tutik selalu berhasil membuktikan ditangannya kelas dapat terkendali dan pembelajaran menjadi lancar.
Selain di dalam kelasnya ia juga saya percaya menjadi “asisten” untuk memimpin kelompok belajar di luar sekolah seperti event yang pernah kita lalui pada tahun 2018 dalam menyambut ASIAN GAMES di suatu perkampungan di Brebes yang di selenggarakan oleh Polres Brebes. Dalam acara tersebut sekolah mendapat jatah untuk turut serta dalam melukis dinding atau seni grafiti. Sekolah mengutus 10 anak terpilih termasuk Bu Tutik saya ajak untuk membantu memimpin teman-temannya. Terbukti para polisi yang mengajak kita merasa senang karena siswa-siswi yang mewakili sekolah kita yang terdiri dari 10 anak ini berkelakuan dengan sangat kooperatif dan disiplin.
Sistem leader yang saya terapkan ini tidak hanya berlaku kepada Hesti alias Bu Tutik dan kelasnya saja, namun setiap kelas selalu ada leader-leader lain yang saya angkat untuk pembelajaran saya, jadi belum tentu ketua kelas yang saya jadikan leader, tapi orang yang menurut saya memiliki jiwa leaderlah yang saya pilih. Mungkin karena Bu Tutik yang cukup berhasil dan profesionallah maka yang saya angkat dalam cerita ini.

Bu Tutik juga berhasil menjadi aktivis OSIS, sekarang dia juga lulus dengan nilai yang memuaskan dan keterima di SMA yang ia idamkan. Semoga Bu Tutik tetap menjadi anak solehah, berbudi pekerti luhur, dan semangat berjuang hidup. Tulisan ini pun saya tulis atas ijin dari Bu Tutik, jadi semua sudah dikomunikasikan bahwa namanya dan kisahnya saya pakai untuk menginspirasi yang lain.
Ada guru yang pernah menasehati saya,”janganlah kita terlalu dekat dengan murid, jangan pernah jadikan ia teman karena nanti ia akan tidak menghargai kita sebagai guru, kita tetap ada batasnya”. Saya pun punya prinsip saya sendiri dengan saya mengalami sendiri justru jadikanlah murid kita teman, batasan itu akan mereka sadari dengan bagaimana perlakuan kita, teladan kita, bukan cara kita menganggap mereka. Tanpa dinafikan kita juga banyak belajar dari mereka. Kita pernah menjadi seorang murid, coba guru yang seperti apa yang akan mengenang jasanya, ilmunya, ya guru yang dekat dengan kita. Tidak perlu kita harus menunjukkan secara gamblang bahwa kita guru yang harus dihormati lalu kita membuat batas. Mereka akan memahami, karena mereka juga tahu kita adalah guru. Mereka akan menghormati kita karena teladan kita, bukan dari image yang kita bentuk.
Itulah pengalaman saya selama mengabdi menjadi guru honorer di SMP N 1 Brebes, saya memang terpanggil ingin mengajar maka saya berjuang, mereka adalah penerus kita, mereka adalah tabungan amal kita. Itu lebih bernilai dari harta. Itulah motivasi saya dalam menjadi seorang guru. Saya bahagia menjadi guru, semoga tetap amanah sampai dipanggil Yang Kuasa. Aamiin.

Rabu, 26 Februari 2020

Pelatihan Jurnalistik Yang Unik di Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY



Ruangan yang luas terlihat menyempit diakibatkan peserta Pelatihan Jurnalistik yang diselenggarakan Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY diserbu peminat calon-calon jurnalis masa depan. Peserta adalah guru-guru Madrasah di Daerah Istimewa Yogyakarta dari berbagai Kabupaten. Pelatihan dimulai jam 08.30 WIB, Kamis (27/02/2020). 

Acara semakin hangat ketika pembicara menceritakan pengalamannya menjadi seorang jurnalis. Cara penyampaian seorang pembicara, Bramma Aji Putra membuat acara terasa menyenangkan. Materi yang biasanya terasa biasa atau malah menjemukan, disampaikan bap sebutan akronimnya, menjadi asik. Di sela-sela materi slide bap mengisahkan beberapa pengalamannya yang dramatis namun nyata. Salah satu kisahnya mengenai pengalaman Jurnalistiknya di Arab waktu musim haji.

JAM BERAPA?