Bulan
September tanggal 18 tahun 2014 ini Jogjakarta terasa panas dan gersang, dan
benar saja memang sudah dibelahan bagian daerah Jogja ada yang mengalami
kekeringan dan krisis air. Menurut berita yang saya dengar baik lewat radio
maupun pembicaraan diantara keluarga memang betul disebagian daerah Jogja
seperti Gunung Kidul, Kulonprogo mengalami kesusahan mendapatkan air bersih
disebabkan sumur-sumur mereka kering (asat)
di tahun ini. Betapa bisa kita rasakan gersangnya bulan ini di Jogjakarta kita
tercinta. Lebih dilematis lagi dimusim kemarau yang panas dan kering berdebu
ditambah susah memperoleh air, di beberapa daerah di Jogja, lebih tepatnya di
Gunung Kidul warga rela membeli 1 tangki air dengan harga 100ribu rupiah dengan
cara menjual gaplek (singkong yang
dikeringkan, merupakan makanan pokok seperti pengganti beras di Gunung Kidul). Sebanyak
1 kwintal bahkan diberita radio disebutkan ada yang sampai mau jual ternak
kambing untuk membeli air, ya kita hanya bisa berharap semoga musim segera
berganti, hujan segera turun membasahi bumi sekaligus jiwa-jiwa yang gersang
yang haus akan keteduhan.
Sudah panas
terasa komplit ketika berhadapan langsung dengan jalan menuju pusat-pusat kota
Jogjakarta. Apakah itu? Ya, kepadatan lalu lintas, polusi, dan tentu saja
bergelut emosi dalam diri dan kita tau itu sempat terekspos dengan tragedi
mahasiswi berpendidikan tinggi yang ternyata emosinya tak selaras dengan
edukasinya. Gara-garanya antri bensin langka, ketika itu pertamina membatasi
pasokan BBM yang dilanda hampir di seluruh Indonesia tak terkecuali Jogja….
Ada-ada saja wanita komedi ini yang sempat mematik kehebohan dunia maya sosial
bahkan merembet ke ranah yang lebih luas yaitu buah bibir dan pemerintah Jogja.
Benar-benar heboh waktu itu. Betapa tidak, ketika itu saya sendiri juga
mengalami hal serupa yaitu antri bensin di salah satu POM bensin yang tak jauh
dari POM bensin TKP, saya di Jakal km 5 dan TKP di POM Lempuyangan. Mungkin
mahasiswi terdidik yang bahkan jurusan sadar hukum ini tak perlu mengantri
lama-lama karena itu hanya menyita waktunya, tapi saya antri dari jam 9 pagi
sampai jam 2 siang waktu itu, saya juga menjumpai kisah-kisah unik ketika
mengantri. Ada ibu hamil 8 bulan yang dengan anggun, tertip dan ramah ikut
mengantri. Ia gagal memeriksakan kandungannya ke Puskesmas disebabkan motor
yang ia kendarai habis bensin. Ada juga mahasiswi yang rela bolos kuliah, ada
juga mahasiswi yang secara kebetulan bertemu dosennya sama-sama mengantri, ada juga
yang dengan penuh kepercayaan diri rela untuk menitipkan motor, uang, dan kunci
motor karena mau ditinggal cari makan khawatir disaat ditinggal mencari makan
bensinnya sudah tiba. Ada juga 2 orang lelaki remaja heboh entah saudara,
teman, atau apa, sangat atraktif dan penuh gaya ala-ala alay tak henti-hentinya
berdecak tawa meriah, tak ketinggalan
karyawan POM bensinnya juga tak kalah berpartisipasi dalam kemajuan zaman
dengan sesekali terlihat mengabadikan momen antrian ketika itu dengan
smartphonenya, dan masih banyak lagi.
Memang betul
terkadang tuntutan zaman dan tuntutan social membuat hal yang sebenarnya
sederhana itu dirasa dilematis, sulit dan komplikasi. Contoh kita bisa fokus
saja pada satu “TRANSPORTASI”. Anak
sekolah yang sejatinya belum berhak mengendarai motor harus berangkat ke sekolah
menggunakan motor dengan berbagai alas an dan pertimbangan yang jika didengar
masuk akal sekaligus dilematis. Bahkan seperti saya saja contohnya, mengkritisi
soal kendaraan motor dan mobil, saya sendiri saja memakainya, kan gitu. Betapa
lengkap sudah bukan? Komplikasi dan dilematisnya.
Lanjut.
Keadaan seperti itu kemudian mengulik memori kenangan masa lalu yang kalau
dibandingkan dengan sekarang masa itu lebih adem
bawaannya. Hal itu kemudian mengulik perasaan rindu di dalam hati saya atau
malah bahkan mungkin ada yang serasa dengan saya.
Tepatnya
kurang lebih ditahun 2002-an sampai sebelum itu dan masih sampai 2004-an akhir
mungkin kita tak menjumpai hal serupa pada masa itu di Jogja sekarang. Namanya
adalah kami menyebutnya kol kuning, bis tuyul, atau kol tuyul. Dia merupakan
sahabat paling lucu dan sangat membantu sekali perjalanan kami ketika itu,
karena dia merupakan alat transportasi umum yang beroperasi sampai
pelosok-pelosok dusun yang ada jalan aspalnya yang merupakan jalur rute si bis
tuyul ini.
Dulu ketika
libur ingin jalan-jalan refreshing menjelajah Jogja cukup dengan bangun pagi,
siap-siap sudah mandi, sarapan, bawa bekal, dan uang saku sekedarnya nunggu di
depan rumah di pinggir jalan, nunggu siapa?... Nunggu si bis tuyul yang
warnanya kuning dan ada nomornya atau angka di kaca depannya. Untuk ke
Prambanan cukup pakai dua rute atau satu kali ganti bis tuyul. Begitupun jika
ingin ke Malioboro, Gembiraloka, Monjali (Monumen Jogja Kembali) dll. Bedanya
mungkin kalau sudah sampai tujuan kota seperti Malioboro sekitarnya nanti
disambung dengan bus yang besar. Jadi tugas bis tuyul ini hanya di rute-rute
pedesaan dusun mengitari pelosok-pelosok untuk mengajak ke sekolah, ke pasar,
dan jalan-jalan ke kota dengan pergantian ke bus yang lebih gede ukurannya.
Itulah
kenangan bersama bis tuyul, mengingatnya membuat rasa ingin kembali kemasa itu.
Tapi sayang masa itu terlewati begitu saja dengan singkat. Padahal banyak hal
positif yang kalau ditinjau dengan fenomena transportasi saat ini, bis tuyul bisa
menjadikan alternative solusi kepadatan dan polusi yang diakibatkan oleh
banyaknya kendaraan bermotor dan mobil yang semakin berlimpah. Ya, kita hanya bisa
berharap semoga pemerintah terkait dan masyarakatnya sendiri peka dan saling
memberikan solusi terbaik yang tepat untuk Jogjakarta tercinta kita ini. Amin. Be positif thinking
Kembali ke si
lucu kol tuyul, ketika itu saya untungnya sempat menikmati berteman akrap
dengan kol tuyul meski kita hanya berteman akrab cukup singkat. Diwaktu SMP
saya sempat pulang sekolah bersama kol tuyul hanya dengan seribu rupiah dengan
uang receh koin sudah diantarkan sampai rumah dengan aman, nyaman. Menjelang
Mts dan SMA akhirnya kol tuyul tiada hingga kini belum ada yang bisa
menggantikannya, meski TransJogja lahir beberapa tahun kemudian namun sayang
hanya kalangan dekat kota dan jalan raya saja yang mampu menikmatinya.
Kini di dusun-dusun
justru muncul trend “CINTA PANTAT
BERASAB”. Dimana orang-orang tertentu yang justru biasanya kalangan ekonomi
minim berlomba-lomba beli atau kredit motor demi menggaet cinta. Yang tak mampu
memperoleh motor cukup jual diri demi gengsi, keadaan mereka yang mempunyai
selera hidup tertentu, menuntut mereka menggaet/mencari/memburu pasangan
idamannya yang punya motor hanya demi kilau sang motor yang membelalak
pandangan mereka. Pada akhirnya di dusun polusi suara motor menjadi hidangan
sehari-hari bahkan melunturkan suara alam dari pepohonan, burung, dan udara
pedesaan yang teduh lagi tenang.
Itulah
sekelumit kenanganku bersama kol tuyul si mobil mungil berwarna kuning yang
setia menjemput penumpang-penumpang menuju tempat tujuan diwaktu itu.
Mungkinkah kol tuyul dapat hidup kembali?