Laman

Ikhsan Hargo Kusumo

Rabu, 17 September 2014

MEMOAR YANG TERKENANG BERSAMA KOL TUYUL


Bulan September tanggal 18 tahun 2014 ini Jogjakarta terasa panas dan gersang, dan benar saja memang sudah dibelahan bagian daerah Jogja ada yang mengalami kekeringan dan krisis air. Menurut berita yang saya dengar baik lewat radio maupun pembicaraan diantara keluarga memang betul disebagian daerah Jogja seperti Gunung Kidul, Kulonprogo mengalami kesusahan mendapatkan air bersih disebabkan sumur-sumur mereka kering (asat) di tahun ini. Betapa bisa kita rasakan gersangnya bulan ini di Jogjakarta kita tercinta. Lebih dilematis lagi dimusim kemarau yang panas dan kering berdebu ditambah susah memperoleh air, di beberapa daerah di Jogja, lebih tepatnya di Gunung Kidul warga rela membeli 1 tangki air dengan harga 100ribu rupiah dengan cara menjual gaplek (singkong yang dikeringkan, merupakan makanan pokok seperti pengganti beras di Gunung Kidul). Sebanyak 1 kwintal bahkan diberita radio disebutkan ada yang sampai mau jual ternak kambing untuk membeli air, ya kita hanya bisa berharap semoga musim segera berganti, hujan segera turun membasahi bumi sekaligus jiwa-jiwa yang gersang yang haus akan keteduhan.

Sudah panas terasa komplit ketika berhadapan langsung dengan jalan menuju pusat-pusat kota Jogjakarta. Apakah itu? Ya, kepadatan lalu lintas, polusi, dan tentu saja bergelut emosi dalam diri dan kita tau itu sempat terekspos dengan tragedi mahasiswi berpendidikan tinggi yang ternyata emosinya tak selaras dengan edukasinya. Gara-garanya antri bensin langka, ketika itu pertamina membatasi pasokan BBM yang dilanda hampir di seluruh Indonesia tak terkecuali Jogja…. Ada-ada saja wanita komedi ini yang sempat mematik kehebohan dunia maya sosial bahkan merembet ke ranah yang lebih luas yaitu buah bibir dan pemerintah Jogja. Benar-benar heboh waktu itu. Betapa tidak, ketika itu saya sendiri juga mengalami hal serupa yaitu antri bensin di salah satu POM bensin yang tak jauh dari POM bensin TKP, saya di Jakal km 5 dan TKP di POM Lempuyangan. Mungkin mahasiswi terdidik yang bahkan jurusan sadar hukum ini tak perlu mengantri lama-lama karena itu hanya menyita waktunya, tapi saya antri dari jam 9 pagi sampai jam 2 siang waktu itu, saya juga menjumpai kisah-kisah unik ketika mengantri. Ada ibu hamil 8 bulan yang dengan anggun, tertip dan ramah ikut mengantri. Ia gagal memeriksakan kandungannya ke Puskesmas disebabkan motor yang ia kendarai habis bensin. Ada juga mahasiswi yang rela bolos kuliah, ada juga mahasiswi yang secara kebetulan bertemu dosennya sama-sama mengantri, ada juga yang dengan penuh kepercayaan diri rela untuk menitipkan motor, uang, dan kunci motor karena mau ditinggal cari makan khawatir disaat ditinggal mencari makan bensinnya sudah tiba. Ada juga 2 orang lelaki remaja heboh entah saudara, teman, atau apa, sangat atraktif dan penuh gaya ala-ala alay tak henti-hentinya berdecak tawa meriah, tak  ketinggalan karyawan POM bensinnya juga tak kalah berpartisipasi dalam kemajuan zaman dengan sesekali terlihat mengabadikan momen antrian ketika itu dengan smartphonenya, dan masih banyak lagi.

Memang betul terkadang tuntutan zaman dan tuntutan social membuat hal yang sebenarnya sederhana itu dirasa dilematis, sulit dan komplikasi. Contoh kita bisa fokus saja pada satu “TRANSPORTASI”. Anak sekolah yang sejatinya belum berhak mengendarai motor harus berangkat ke sekolah menggunakan motor dengan berbagai alas an dan pertimbangan yang jika didengar masuk akal sekaligus dilematis. Bahkan seperti saya saja contohnya, mengkritisi soal kendaraan motor dan mobil, saya sendiri saja memakainya, kan gitu. Betapa lengkap sudah bukan? Komplikasi dan dilematisnya.

Lanjut. Keadaan seperti itu kemudian mengulik memori kenangan masa lalu yang kalau dibandingkan dengan sekarang masa itu lebih adem bawaannya. Hal itu kemudian mengulik perasaan rindu di dalam hati saya atau malah bahkan mungkin ada yang serasa dengan saya.
Tepatnya kurang lebih ditahun 2002-an sampai sebelum itu dan masih sampai 2004-an akhir mungkin kita tak menjumpai hal serupa pada masa itu di Jogja sekarang. Namanya adalah kami menyebutnya kol kuning, bis tuyul, atau kol tuyul. Dia merupakan sahabat paling lucu dan sangat membantu sekali perjalanan kami ketika itu, karena dia merupakan alat transportasi umum yang beroperasi sampai pelosok-pelosok dusun yang ada jalan aspalnya yang merupakan jalur rute si bis tuyul ini.
Dulu ketika libur ingin jalan-jalan refreshing menjelajah Jogja cukup dengan bangun pagi, siap-siap sudah mandi, sarapan, bawa bekal, dan uang saku sekedarnya nunggu di depan rumah di pinggir jalan, nunggu siapa?... Nunggu si bis tuyul yang warnanya kuning dan ada nomornya atau angka di kaca depannya. Untuk ke Prambanan cukup pakai dua rute atau satu kali ganti bis tuyul. Begitupun jika ingin ke Malioboro, Gembiraloka, Monjali (Monumen Jogja Kembali) dll. Bedanya mungkin kalau sudah sampai tujuan kota seperti Malioboro sekitarnya nanti disambung dengan bus yang besar. Jadi tugas bis tuyul ini hanya di rute-rute pedesaan dusun mengitari pelosok-pelosok untuk mengajak ke sekolah, ke pasar, dan jalan-jalan ke kota dengan pergantian ke bus yang lebih gede ukurannya.

Itulah kenangan bersama bis tuyul, mengingatnya membuat rasa ingin kembali kemasa itu. Tapi sayang masa itu terlewati begitu saja dengan singkat. Padahal banyak hal positif yang kalau ditinjau dengan fenomena transportasi saat ini, bis tuyul bisa menjadikan alternative solusi kepadatan dan polusi yang diakibatkan oleh banyaknya kendaraan bermotor dan mobil yang semakin berlimpah. Ya, kita hanya bisa berharap semoga pemerintah terkait dan masyarakatnya sendiri peka dan saling memberikan solusi terbaik yang tepat untuk Jogjakarta tercinta kita ini. Amin. Be positif thinking
Kembali ke si lucu kol tuyul, ketika itu saya untungnya sempat menikmati berteman akrap dengan kol tuyul meski kita hanya berteman akrab cukup singkat. Diwaktu SMP saya sempat pulang sekolah bersama kol tuyul hanya dengan seribu rupiah dengan uang receh koin sudah diantarkan sampai rumah dengan aman, nyaman. Menjelang Mts dan SMA akhirnya kol tuyul tiada hingga kini belum ada yang bisa menggantikannya, meski TransJogja lahir beberapa tahun kemudian namun sayang hanya kalangan dekat kota dan jalan raya saja yang mampu menikmatinya.
Kini di dusun-dusun justru muncul trend “CINTA PANTAT BERASAB”. Dimana orang-orang tertentu yang justru biasanya kalangan ekonomi minim berlomba-lomba beli atau kredit motor demi menggaet cinta. Yang tak mampu memperoleh motor cukup jual diri demi gengsi, keadaan mereka yang mempunyai selera hidup tertentu, menuntut mereka menggaet/mencari/memburu pasangan idamannya yang punya motor hanya demi kilau sang motor yang membelalak pandangan mereka. Pada akhirnya di dusun polusi suara motor menjadi hidangan sehari-hari bahkan melunturkan suara alam dari pepohonan, burung, dan udara pedesaan yang teduh lagi tenang.
Itulah sekelumit kenanganku bersama kol tuyul si mobil mungil berwarna kuning yang setia menjemput penumpang-penumpang menuju tempat tujuan diwaktu itu. Mungkinkah kol tuyul dapat hidup kembali?

JAM BERAPA?