Terdampar di Kota
Telur Asin dan Bawang Merah
Masih melekat
di ingatan tertanggal 17 Juli 2017 adalah awal cerita saya berada di kota yang
sudah tidak asing -terkenal- akan telur asin dan bawang merahnya. Dengan segala
kesombongan saya, saya berusaha memepertahankan prinsip saya, harus hati-hati
di tempat asing ini, itu saya pegang dengan kuatnya. Namun sedari awal saya
sudah merasakan semenjak dari stasiun yogyakarta menuju daerah ini, ada perasaan
yang seperti bersahabat, ibarat bertemu dengan keluarga cemara. Decak perasaan
ceria, lucu, unik semua bercampur manis dalam balutan senyum seringai saya. Meski
saya pernah mempunyai kawan dengan logat beraneka rupa termasuk ngapak, namun terjun langsung di tempat
aslinya serasa bagaikan pemandangan baru yang menggelitik hati. Sampai di
stasiun purwokerto sudah terasa betapa mereka mempunyai ciri khas budaya
sendiri meski kita serumpun se pulau.
Ketika itu
saya belum tahu alur jalur kereta menuju tempat ini, saya kira kabupaten ini
lokasinya berdekatan ternyata antar kecamatan jaraknya hampir sama seperti
jarak antar kabupaten di yogyakarta. Pada saat itu saya turun dari stasiun
Bumiayu tempat sahabat saya yang pernah hilang yang saya ceritakan di blog ini
beberapa tahun yang lalu. Saya sempat tinggal sebentar di tempatnya dan benar
dia sudah memiliki hidup yang jauh berbeda ketimbang saya, dia sudah berumah
tangga, menjadi seorang guru dan memiliki putri yang cantik dan sangat ia
sayangi. Berkat sahabat saya inilah saya mendapatkan informasi mengenai
lowongan di sekolah yang akan menjadi tempat saya berlabuh untuk mengabdi
sebagai seorang guru.
Hari dimana
saya masuk pertama di sekolah ini sambutan ramah dari salah seorang guru membuat saya yakin untuk memutuskan sekolah
ini adalah tempat yang tepat. Benar saja beberapa hari saya mulai berkegiatan
di sekolah ini saya menemukan orang-orang dengan pribadi yang penuh sambutan,
ramah tamah dan kekeluargaan. Walaupun tak luput sempat ada cerita mengenai
orang yang kurang begitu menghargai saya dengan memperlakukan saya dengan penuh
kemunafikan, tapi itu berlangsung hanya sebagai selingan dan sudah lepas dari
belenggu itu.
Di sekolah ini
saya menemukan orang muda yang berdedikasi, dan mengabdi seperti saya-tapi
mereka justru lebih muda usianya daripada saya- dengan penuh ketulusan,
kejujuran, dan keikhlasan. Dari hal tersebut saya merasa salut terhadap mereka.
Mereka menyambut saya sebagai bagian dari mereka, saya adalah orang asing yang
terasing yang selalu menyebut kata “yogyakarta” dalam membandingkan budaya di
tempat ini yang barangkali menyinggung mereka tanpa disadari, ternyata saya menyadari
secara tak sengaja terkadang kita selalu membawa nama latar belakang kita
kemana-mana, itulah mengapa ada pepatah yang mengatakan “dimana kaki berpijak
di situ lagit di jinjing” supaya kita tak terlalu membawa-bawa asal kita.
Pengalaman mengajar
saya sebagai seorang guru adalah di saat PPL dan mengajar ekstra saja untuk
menjadi guru yang benar-benar seorang guru baru kali ini. Rasa syukur tentu
seharusnya saya ucapkan kepada Sang Maha Pencipta, karena kesempatan inilah
yang pernah saya idamkan.
Wajah-wajah
baru, senyum-senyum baru, lesung pipit, bahasa, logat, nada bicara yang indah.
Murid-murid yang lugu, yang berjuang, yang belajar. Makanan yang enak di lidah.
Terimakasih kawan-kawan baru, teman-teman kecil, Brebes. Semoga kita mengukir
kenangan yang manis, yang bermanfaat, yang baik dan happy ending. Aamiiin
SELAMAT DATANG, TERIMAKASIH ATAS PENERIMAAN, SAMBUTAN DAN
MENJADIKAN SAYA MENJADI SALAH SATU BAGIAN DIANTARA KALIAN.