Laman

Ikhsan Hargo Kusumo

Minggu, 18 Maret 2012

MEREKA ADALAH SAMA

MEREKA ADALAH SAMA

Oleh: Ikhsan Hargo Kusumo

Jika ditanya apa pandangan kita tentang penyandang tunanetra, pasti yang tergambar dalam benak kita adalah mereka yang tidak bisa melihat dunia, dan mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaan orang yang dapat melihat seperti kita. Bayangkan saja apabila mata kita ditutup, kemudian kita berjalan pada suatu jalan lurus; bisa jadi kita akan berjalan melenceng keluar dari jalur lurus tadi. Atau ketika mati lampu, kita meraba-raba benda yang sedang kita cari, benda itu mungkin tidak segera tergapai oleh kita, karena semua gelap dan tampak hitam. Sudut pandang seperti itu juga pernah saya alami sebelum ini.

Ketika saya melihat seorang penyandang tunanetra, yang terkesan di hati saya ialah rasa iba, karena tunanetra yang sering saya temui adalah peminta-minta yang beroperasi di pusat kota Yogyakarta dan juga pengamen karaoke di pasar Beringharjo Malioboro. Dengan kotak player kaset karaoke, sang tunanetra menyanyikan lagu Ebiet G. Ade yang mencerminkan kepedihan, derita, dan perjuangan hidup para pengamen tunanetra itu sendiri. Kadang-kadang, dalam perjalanan ke kota, saya melihat seorang tunanetra tua berjalan menyingkir dari jalanan yang gaduh, dengan dituntun istrinya yang setia menjadi penunjuk arah. Situasi serupa juga saya jumpai di saat asyik makan di lesehan Jalan Monjali; tangan-tangan yang membawa gelas bekas air mineral terulur, meminta sumbangan uang dari pengunjung. Ketika itu belum terpikir oleh saya bahwa mereka sebenarnya juga menyimpan potensi yang sama seperti kita.

Sampai tiba waktunya saya pindah sekolah dari SMA (Sekolah Menengah Atas Negeri) biasa ke MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Maguwoharjo yang merupakan sekolah setara SMU (Sekolah Menengah Umum); namun berbasis agama dan memiliki suatu kelebihan, yaitu menerima siswa penyandang cacat, termasuk tunanetra. MAN Maguwoharjo ini biasa disebut juga madrasah inklusif. Dari sini, sedikit demi sedikit pandangan saya mengenai tunanetra berubah.

Ketika saya bertemu teman-teman baru di madrasah inklusif ini, saya merasa telah bertemu dengan orang-orang yang mengagumkan. Berbagai jenis karakter saya temui di sekolah baru ini, termasuk teman sekelas saya Eko Wahyudi dan Nur Chasanah. Mereka berdua adalah tunanetra, atau sering kami sebut dengan singkatan TN. Pertama kali saya mengenal mereka, tampak kegigihan mereka mencari ilmu; semangat mereka begitu berkobar. Ini terbukti dari latar belakang mereka yang berasal dari luar Yogyakarta. Mereka bukanlah berasal dari kalangan dengan latar belakang finansial yang cukup baik. EkoWahyudi adalah anak dari seorang penjual jamu di Jakarta, sedangkan orang tua Nur Chasanah bekerja sebagai pembuat tempe di Demak. Di Yogyakarta, mereka tinggal di suatu asrama. Untuk berangkat ke sekolah, Eko dan Nur -- begitu mereka disapa -- harus menempuh perjalanan dengan bus kota. Pernah saya bertanya kepada mereka, bagaimana mereka mengetahui bahwa bus sudah sampai di sekolah. Mereka menjawab bahwa mereka bisa meminta kondektur bus memberi tahu mereka. Saya pun bertanya lagi, bagaimana jika mereka ditipu. Mereka menjawab dengan santai, bahwa hal itu jarang terjadi karena sopir maupun kondektur bus sudah mengenal mereka.

Meskipun begitu, semenjak naik ke kelas XII, Eko dan Nur pindah ke rumah kos di dekat sekolah agar bisa lebih mudah pergi dan pulang les. “Supaya tidak terlambat,” kata mereka. Pertanyaan-pertanyaan kecil terus saya lontarkan dan mereka pun begitu positif menjawab kekurangtahuan saya. Dari waktu ke waktu, saya semakin dapat memahami bahwa mereka menjalani hidup dengan cara mereka sendiri. Kekurangan yang mereka sandang tidak mereka jadikan penghalang dalam menjalani hidup. Hal ini tentu dapat menjadi bahan pembelajaran bagi kita.

Selain memiliki mental yang kuat, mereka pun ternyata tidak ketinggalan dari teman-teman yang lain dalam bidang akademik. Dilihat dari tingkat kelulusan tahun akademik 2006/2007 saja, TN di sekolah kami lulus 100%. Artinya, mereka juga dapat membuktikan bahwa mereka tidak bisa dikesampingkan. Salah satu contohnya adalah Triyanto, kakak kelas saya yang sekarang sudah lulus. Ia menjadi motivator dengan prestasinya sebagai juara pertama Lomba Baca Puisi Chairil Anwar di UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Tidak hanya pandai menghayati puisi, Kak Triyanto juga pandai memainkan gitar, bersenandung dan menghibur dalam berbagai forum atau acara di sekolah kami. Kak Triyanto tidak hanya pandai menarik perhatian melalui bakat yang ia miliki, tapi ia juga hadir sebagai penasihat yang santun dan bersahaja. Ketika itu saya duduk di kelas XI IPS, sedang ia kelas XII IPS. Sekarang Kak Triyanto sudah melanjutkan studinya ke UIN (Universitas Islam Negeri).

Kembali kepada Nur Chasanah dan Eko Wahyudi. Saya salut terhadap teman-teman saya ini. Eko bercerita bahwa ketika di kelas XI dulu, dia sering melakukan pekerjaan paruh waktu, yaitu memijat. Upahnya lumayan; untuk satu jam memijat, dia bisa memperoleh sekitar Rp 25.000,00. Selain memijat, ia juga pernah pentas band dan mendapatkan honor kurang lebih Rp 500.000,00. Ini membuktikan bahwa biarpun TN, Eko tetap mandiri. Bukan hanya itu; dalam mengurus dirinya sendiri seperti mencuci baju, memasak dan pekerjaan sehari-hari lain, dia melakukannya dengan penuh tanggung jawab. Ia pun tidak takut bila harus berpergian untuk suatu urusan; justru pengalamannya lebih banyak. Kadang-kadang saya menawarkan bantuan dalam bentuk tenaga kepada mereka. Tapi mereka tampak segan dan tidak mau terlalu merepotkan. Hal ini pun semakin menambah simpati saya.

Di dalam kegiatan belajar-mengajar, penyandang TN selalu aktif menanggapi pelajaran yang sedang berlangsung di kelas. Mereka cerdas dalam berargumen, menganalisis dan melakukan presentasi di depan kelas. Antusiasme yang mereka tunjukkan telah mendorong saya untuk lebih berkompetisi dalam mengukir prestasi. Suara yang terdengar ketika mereka menulis dengan huruf Braille di ruang kelas juga memberi semangat kepada saya untuk belajar.

Ternyata, meskipun penyandang TN tidak bisa melihat dunia, mereka tetap dapat mengetahui siang, malam, mendung, hujan atau cerah. Mereka juga dapat mengenali teman-temannya melalui aroma tubuh, suara dan sentuhan. Walaupun indera pengelihatan mereka kurang, namun indera pendengaran, bau serta sentuhan mereka peka. Itulah yang mereka jadikan sebagai penglihatan dalam menjalani hidup. Mereka boleh saja buta mata, tapi yang pasti mereka tidak buta hati. Terkadang hal yang sebaliknya justru dialami oleh orang yang diberikan kelebihan oleh Tuhan; mereka tidak buta mata, tapi buta hati.

Dalam pergaulan di sekolah, para TN adalah teman yang supel, mudah membaur, juga mempunyai pandangan hidup yang lebih dewasa dan bijaksana. Mereka adalah teman sekaligus sahabat. Sesungguhnya penyandang tunanetra hadir sebagai pengendali sosial. Dengan adanya mereka di antara kita, banyak hal yang dapat diambil manfaatnya tanpa mereka harus melakukan sesuatu. Kehadiran penyandang tunanetra ini bisa menjadi refleksi bagi orang yang normal agar lebih mengevaluasi diri. Kita harus bersyukur bahwa kita masih diberikan nikmat mata yang bisa melihat.

Para TN menulis dengan menggunakan alat tulis Braille atau yang biasa disebut riglet. Dengan cara pengajaran yang sama dengan murid normal, TN beradaptasi. Walaupun demikian, karena mereka memiliki keterbatasan, maka kadang mereka perlu dibantu dengan cara dibacakan, atau diberi buku panduan dan buku paket dengan tulisan Braille yang isinya sama dengan buku yang dimiliki oleh siswa normal. Para TN juga memiliki pembimbing. Para pembimbing tersebut merupakan orang yang ahli di bidangnya; mereka dapat membaca tulisan Braille, serta mengetahui cara membimbing yang sesuai dengan kepribadian setiap penyandang TN.

Mengenai kegiatan ektrakurikuler, para TN diarahkan untuk mengikuti band, olahraga, atau kegiatan lain sesuai potensi, hobi dan bakat yang mereka miliki. Rata-rata TN di sekolah kami pandai bermain musik.

Tidak semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang. Sebagian kecil dari mereka, sejak lahir atau dalam masa pertumbuhannya mengalami kelainan fisik. Mereka disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) atau difabel. Meskipun kondisi mereka berbeda, mereka juga mempunyai kesempatan yang setara untuk belajar dan berkembang bersama anak-anak normal di suatu wadah/lembaga yang sama.

Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III ayat 5 menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa ABK pun berhak memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam memperoleh pendidikan. Hal ini juga diperkuat oleh beberapa Undang-undang dan Konvensi PBB berikut:

 *

 UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat
 *

 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak
 *

 UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Anak
 *

 Konvensi PBB 2006 tentang Hak Penyandang Cacat

Jadi sudah jelas bahwa negara bahkan dunia internasional mempunyai aturan hukum yang pasti. Sekolah inklusif adalah wujud solusi yang tepat dalam menyukseskan kesejahteraan yang kita harapkan bersama. Selain itu, sekolah inklusif merupakan realisasi dari hak asasi dalam menghasilkan suatu karya.

Sekolah inklusif merupakan pembuka kesempatan bagi calon penerus bangsa yang demokratis. Di sekolah inklusif, TN bersama siswa yang normal mendapatkan persamaan dalam memperoleh ilmu pengetahuan, mengembangkan kreatifitas, ketrampilan dan keahlian. Sudah sewajarnya kaum TN mendapatkan hak mereka untuk menunjukkan kemampuan diri. Tidak adil apabila bakat mereka dikekang, pergaulan mereka dibatasi, dan mereka tidak diperbolehkan mengaktualisasikan diri. Mereka juga mempunyai hak yang sama. Mereka juga mempunyai kewajiban yang besar.

Sebagaimana dijabarkan di atas, konstitusi menyebutkan bahwa ABK, termasuk penyandang tunanetra (digolongkan ke dalam penderita A atau tunanetra) mempunyai hak-hak yang sama.

Oleh karena itu, tidak ada gunanya membatasi ruang gerak penderita A, terutama dalam mengerjakan tugas-tugas yang sekiranya dapat dilakukan oleh mereka sendiri, termasuk di dalamnya adalah mengenyam pendidikan. Biarlah mereka berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Biarkan pula mereka merasakan perkembangan dunia melalui pendidikan. Dan biarkanlah mereka mengembangkan wawasan untuk bekal menghadapi masa depan mereka dengan tangan mereka sendiri, karena sebenarnya mereka memang bisa.

Mereka tidak mengharapkan rasa iba atau kasihan dari kita. Yang mereka harapkan adalah bentuk nyata dari penghargaan kita kepada mereka. Karena mereka juga mempunyai cita-cita, mimpi, dan harapan yang sama dengan kita.

Itulah secarik pengalaman yang mengubah sudut pandang saya. Bermigrasi dari sekolah non-inklusif ke sekolah inklusif telah membuka pikiran saya yang sempit dan kaku. Tunanetra, TN, atau penderita A adalah manusia seperti kita. Kita dapat mulai menghargai mereka dari hal yang kecil. Apakah itu? Bersikap saling menghargai dan berdedikasi untuk sesama.

Saya percaya Tuhan menciptakan manusia begitu sempurna. Mungkin di hadapan sesama manusia, kaum difabel mempunyai kekurangan. Tapi di hadapan Tuhan, kaum difabel sama saja dengan manusia ciptaan-Nya yang lain; yang membedakan mereka hanyalah iman dan tabiatnya. Secara kasat mata, manusia memang lebih suka menilai dari luarnya saja. Tapi sesungguhnya, kaum difabel pun mempunyai kesempurnaan. Begitu pula dengan kaum tunanetra; mereka tidak mampu melihat, namun indera lain yang mereka miliki sungguh sensitif. Otak mereka mempunyai kemampuan yang kuat dalam mengingat. Mereka juga mempunyai perasaan yang peka.

Tuhan menciptakan jagat raya dengan berbagai macam bentuk kehidupan. Fisik kita boleh berbeda, tapi semangat kita sama. Penyandang tunanetra juga mempunyai semangat yang sama, karena kita semua memang sama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JAM BERAPA?